Perang Libya: Bisakah NATO menyelamatkan Misrata?
Penting bagi musuh Muammar Qaddafi untuk terus menguasai Misrata
Sumber: The Economist, 20 April 2011
Penderitaan Misrata, kota di sebelah Barat yang dikuasai pemberontak yang telah bertahan dari pengepungan berdarah oleh pasukan Muammar Qaddafi selama hampir dua bulan, telah membuka tabir dilema yang membuat efektivitas kampanye udara NATO semakin menurun. Ketika berbagai upaya diambil untuk mengevakuasi para pekerja migran yang terjebak dan luka parah yang berupaya menyelamatkan diri via laut, komandan pemberontak di Misrata memperingatkan dunia luar melalui Skype bahwa jika NATO tidak melakukan lebih banyak hal untuk membantu, maka kota itu bisa jatuh dalam tempo beberapa hari. Seseorang, menyebut dirinya bernama Muhammad, mengatakan para pejuang pemberontak dan warga sipil bagaikan "tikus di dalam kandang", dengan jumlah korban tewas semakin tinggi. Dia menyatakan bahwa tidak ada serangan udara (yang dilancarkan NATO) kepada pasukan Kolonel Qaddafi, yang mengepung Misrata pada tiga sisi: "Kami sedang dihajar oleh mortar, Grad, Katyusha, atau apapun namanya itu, dan tidak ada tindakan apa-apa (dari NATO).”
Misrata menerima beberapa perlengkapan medis dari laut (dan juga senjata yang berasal dari Benghazi dan mungkin Qatar), tetapi dengan menipisnya makanan dan air kelelahan mulai menghantui, mungkin kota ini tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Pada tanggal 18 April, PBB mencapai kesepakatan dengan pemerintah Libya di Tripoli untuk membangun "hadirnya kemanusiaan" di negara itu yang akan mengizinkan para pekerja bantuan beroperasi di kawasan yang dikendalikan oleh pemerintah, tetapi tidak jelas apakah ini akan membantu Misrata.
Musa Ibrahim, seorang juru bicara pemerintah Libya, mengatakan bahwa kesepakatan dengan PBB adalah untuk menyediakan “jalur yang aman bagi orang yang mau meninggalkan Misrata, memberikan bantuan, makanan dan obat-obatan." Tapi implikasinya adalah bahwa hal ini akan terjadi hanya setelah pasukan Qaddafi telah menguasai kembali kota itu. Sementara itu, Uni Eropa telah menyusun rencana untuk menggunakan sebuah kontingen kecil militer untuk memberikan bantuan ke Misrata, tetapi PBB gelisah dengan rencana ini, dan NATO mengatakan tidak ingin membingungkan misinya dengan terlibat selain memastikan jalur yang aman untuk kapal dan pesawat yang membawa bantuan kemanusiaan.
Selain krisis kemanusiaan di Misrata, kota ketiga terbesar dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 jiwa di Libia ini, juga memiliki sebuah pelabuhan penting - yang sangat strategis. Selama kota ini bertahan, dia mencegah Kolonel Qaddafi untuk memaksakan sebuah partisi de facto antara barat dan timur dan memberikan dorongan kepada oposisi di kota-kota bagian barat lainnya, seperti Zintan dan Zawiya, dan bahkan beberapa bagian Tripoli, ibukota, yang beberapa saat pada hari-hari awal revolusi juga menunjukkan oposisinya.
Masalah NATO adalah saat ini dia kekurangan baik sarana dan juga mandat untuk berbuat banyak membantu Misrata. Para penembak jitu pasukan Qaddafi di bangunan-bangunan kota itu tidak bisa diserang dari udara tanpa membunuh warga sipil yang ada di dekatnya. Bahkan sulit dilakukan setelah mortir (beberapa di antaranya mampu menembakkan munisi cluster, menurut Human Right Watch yang berkantor di New York) dan roket Grad yang diluncurkan dari luar kota. Dibandingkan dengan mobil tank atau artileri berat, senjata ini cukup mewakili target yang kecil dan mudah disembunyikan. Namun begitu, sebuah peluncur Grad multiple mampu menembakkan sebuah salvo 40 (prakiraan kasar) roket.
Untuk memiliki beberapa efek terhadap target kabur semacam itu, NATO memerlukan beberapa kombinasi pemberi titik-titik canggih (pasukan khusus) di lapangan, kemampuan untuk berkeliaran di atas area target sampai berbagai peluang muncul dan jenis pesawat yang tepat untuk mengirimkan serangannya. Jet-jet cepat yang dipersenjatai dengan rudal memerlukan dana hingga 100 kali lebih besar dari senjata yang mereka coba hancurkan yang jumlah penggunaannya amat terbatas.
Jika helikopter dikesampingkan dan tidak ada drone yang cukup, maka hanya tersisa tankbusters A-10 AU A.S. dan gunships AC-130 yang telah digunakan beberapa hari di akhir Maret dan kemudian ditarik kembali ketika Amerika menyerahkan operasi komando udara kepada NATO. Minggu lalu, pada pertemuan yang agak ‘lengket’ para menlu NATO, Laksamana James Stavridis, komandan sekutu tertinggi di Eropa, dikabarkan telah meminta tambahan delapan pesawat tempur "khusus" yang diperlukan untuk serangan presisi. Ada spekulasi bahwa pesawat yang dimintanya adalah A-10an dan AC-130-an. Namun, ketika the Economist naik cetak, tidak ada indikasi apakah Robert Gates, Menhan Amerika, akan memberikan sanksi pelepasan pesawat itu dan menurut sambungan resmi NATO menyatakan tidak ada permintaan yang telah dibuat.
Menurut Douglas Barrie, seorang spesialis AU di Institut Internasional untuk Studi Strategis di London, solusi terbaik barangkali dengan menggunakan helikopter penyerang, tapi "itu tergantung seberapa besar resiko anda siap untuk ambil". Helikopter ini rentan terhadap sistem pertahanan udara portable atau disebut MANPADs, seperti SA-7 pencari panas, yang Kolonel Qaddafi miliki secara melimpah. Pilihan lain mungkin menambah patroli pesawat udara berbasis drone tempur di atas Misrata yang dapat menyerang setiap kali ada mortar atau roket yang menaikan kepalanya. Tapi meskipun di awal, versi survey pesawat Predator drone yang digunakan di atas Libya, Predator B yang lebih besar dan bersenjata lengkap yang dikenal dengan nama Reaper, yang terbukti begitu ampuh melawan Taliban di Afghanistan, pasokannya hampir habis.
Senjata itu semua, walau bagaimanapun, merupakan aset yang siap tersedia dalam permainan yang berpotensi berubah-ubah ini. Selama perang Teluk pertama, pada 1991, Thunderbolt A-10 diperkirakan telah menghancurkan 900 tank Irak. Dia terbang relatif pelan dan mampu mondar-mandir di atas sasaran. AC-130, yang berbasis p-10, dengan perlengkapan komplit senjata berat dan canggih sistem tembak-kendali. Tetapi dia jauh lebih rentan terhadap tembakan darat dibandingkan A-10 yang kokoh berlapis baja dan di dalam "lingkungan non-permisif" dapat beroperasi hanya pada malam hari.
Sumber NATO menyatakan bahwa kampanye udara telah mendekati pada segala sesuatu yang diperlukan dan bahwa sekitar 45% dari serangan via udara dalam bentuk bom atau rudal yang dijatuhkan atau ditembakkan. Ada semacam kefrustasian bahwa para pemberontak mengkritik NATO karena dia menahan diri dan kemudian mengkritik lagi saat NATO mengambil tindakan dan ada sesuatu yang tidak beres dalam tindakan itu. Tapi Anthony Cordesman di Washington Center for Strategic dan International Studies berpendapat bahwa masalah ini didorong oleh batasan-batasan misi dibandingkan pada jumlah pesawat dan bagaimana pesawat itu dikerahkan. Menggunakan kekuatan udara untuk menyerang pasukan darat bersenjata ringan yang menyebar sebagai perbandingan dengan menyerang sasaran yang lebih strategis, seperti pusat komando Kolonel Qaddafi's, markas-markas dan tempat-tempat lain yang mempengaruhi pertahanan rezim Qaddafi, secara inheren tidak efisien. "Apakah harga manusia dari perang gesekan yang lambat merupakan pilihan yang lebih baik dibanding bertindak secara tegas dalam mandat yang lebih luas?" Tanya Mr Cordesman.
Perdebatan tentang apakah Barat harus mempersenjatai para pemberontak - dan apakah bahkan interpretasi elastis resolusi DK-PBB 1973 mengizinkan untuk itu – merupakan hal yang masih rumit. Ada yang mengatakan bahwa bukan senjata yang para pemberontak itu butuhkan tetapi pelatihan, komunikasi, koordinasi lebih baik antara struktur-militer dan sayap politik dan sebuah struktur komando yang efektif. Untuk tujuan itu, koalisi Barat telah mulai mengirimkan para ‘mentor’ militer dari Inggris, Italia dan Perancis untuk membantu merapihkan keadaan. Jadi tentara Barat akan berada di lapangan – tapi tidak "menduduki" negara itu. Tidak mengherankan, langkah-langkah seperti membuat banyak orang gelisah, termasuk mereka yang menginginkan melihat Kolonel Qaddafi jatuh.
No comments:
Post a Comment