Mengapa Sekarang Revolusi Berhasil?
Oleh: Ghazi al-Tubah
Sumber: Aljazeera, Kamis 17/05/1432 - 21/04/2011
Bagaimana kita menjelaskan kejatuhan yang cepat, tiba-tiba dan cantik ini atas beberapa rezim Arab yang dianggap rezim paling represif dari semua organ yang ada di dunia? Dan dengan apa kita menjelaskan gerakan besar masyarakat ini, yang mengguncang singgasana penguasa yang mengakar di Libya, Yaman dan Suriah? Dan dengan apa kita menjelaskan dua hal ini. Keberhasilan revolusi dan gerakan masyarakat?
Untuk bisa menjelaskan keberhasilan revolusi ini, kita harus meletakkan - di hadapan kita - Parameter penghubung yang eksis pasca Perang Dunia Kedua antara pemerintah negara-negara Arab dengan rakyat dan masyarakat, dan kemudian secara bertahap memantau pergerakannya hingga saat ini.
Pasca Perang Dunia Kedua, sebagian besar negara-negara Arab berhasil memperoleh kemerdekaannya. Lalu muncullah kelas penguasa yang menjadikan peradaban barat dalam rupa komunis dan kapitalis sebagai model di bidang politik, sosial, seni, ekonomi, dan pendidikan; Adapun rakyat yang berada di setiap negara Arab menganggap dirinya sebagai bagian dari akar Umat Arab dan Islam, yang memiliki satu budaya, memiliki peradaban yang maju, memiliki sejarah yang mulia, dan berharap untuk sebuah kebangkitan ekonomi, ilmu pengetahuan, masyarakat yang modern yang turut berpartisipasi bersama dalam membangun negerinya, dan berkontribusi bagi kemajuan manusia.
Lalu kelas penguasa yang berada di Mesir, Irak, Suriah, Tunisia, Sudan, berusaha membaratkan umat mengikuti trend komunis atau liberal, tetapi rakyat menolak hal itu, dan tidak menyambut trend yang dibawa penguasa dikarenakan nilai-nilai yang dijunjung dan dibanggakannya, dan yang dianggapnya harus menjadi batu pertama dalam membangun peradaban.
Itulah sebabnya mengapa hubungan antara penguasa dan rakyat menjadi tegang, dan belum pernah terjalin hubungan yang sehat dikarenakan dua sebab: pertama, pemaksaan westernisasi (pembaratan) yang dilakukan oleh penguasa. Kedua, para penguasa diktator itu bukanlah mayoritas sejak mereka bercokol di tampuk kekuasaan dan di saat mereka berkuasa sekalipun..
Partai Baath, yang memimpin kudeta 1968 saat itu anggotanya tidak lebih dari dua ratus orang, Demikian juga Partai Baath yang memerintah Suriah pada tahun 1963 memiliki anggota hanya berjumlah ratusan orang. Demikian juga Ja’far Al-Namiri yang menguasai Sudan tahun 1969 dengan bantuan sejumlah kecil dari anggota Partai Komunis.
Indikasi yang menunjukkan berlanjutnya tiadanya dukungan mayoritas terhadap para penguasa itu adalah kelemahan partai yang terus-menerus tidak mampu memberikan sumbangsih terhadap masyarakat luas. Dan mereka tidak bisa diterima kecuali oleh orang-orang yang terpaksa untuk menunaikan hajat yang harus dipenuhinya. Patut dicatat bahwa partai nasional yang didirikan Sadat dan dipimpin oleh Mubarak di Mesir, tidak mampu melahirkan realistas politik yang aktif, bisa dibuktikan dari sedikitnya prosentase pemilih dalam pemilu parlemen dan presiden pada tahun 2005 dan 2010, yang tidak melebihi 2,5% suara rakyat Mesir.
Gambaran kelemahan partai tidak hanya terjadi di Mesir, kita bisa ambil contoh lain dari Suriah. Patrick Seale, dalam bukunya, "Hafez al-Assad" menuliskan bahwa Partai Baath suatu saat ingin menunjuk seorang sekjen cabang partai Baath di Damaskus, tapi tidak menemukan orang yang bisa dipercayakan untuk mengemban tugas ini di kota - yang jumlahnya mencapai jutaan – dimana sudah sepuluh tahun partai ini memegang tampuk kekuasaan. Akhirnya ditunjuklah dengan terpaksa untuk menduduki jabatan itu seseorang dari salah satu pedesaan di Damaskus.
Satu lagi contoh lain dari Aljazair dalam pemilu yang dilakukan oleh pemerintah di Aljazair pada akhir tahun 1991, partai yang berkuasa kalah tidak mampu meraih kecuali hanya sejumlah kecil kursi di parlemen, dan ini terjadi setelah tiga puluh tahun partai itu memerintah Aljazair. Sebagian besar kursi parlemen dimenangkan oleh partai FIS (al-jabhah al-inqodz) padahal usianya belum melebihi dua tahun.
Oleh karena itu para penguasa itu beralih mengambil peran tirani, diktator, dan menindas untuk mengendalikan rakyat, memaksanya tunduk, dan tidak pernah berhenti menindas aksi protes, kebangkitan dan pemberontakan sejak tahun delapan puluhan dan sembilan puluhan dengan jenis penindasan dan represi yang paling parah baik itu di Tunisia, Mesir, Suriah, Irak, Sudan, Yaman dan Aljazair.
Meski dengan semua kelemahan ini dalam pemerintahan, dan meski dengan semua penindasan dan pembunuhan terhadap rakyat, namun rezim-rezim ini tidak pernah putus memperoleh bantuan luar negeri dari Amerika Serikat pada khususnya dan Eropa pada umumnya. Kekuatan luar ini diam terhadap semua kriminalitas dan pelanggaran batas kebebasan umum yang dilakukan rezim-rezim tadi, mengabaikan semua hak asasi manusia dan konvensi internasional, yang menyerukan bagi menjaga martabat manusia. Dalam hal ini, kekuatan luar ini memiliki standar ganda, dalam ucapan mendukung hak asasi manusia dan kebebasan, tapi dalam perbuatan membantu sistem diktator yang zalim melanggar prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia dan kebebasan.
Kami telah memberikan sebagian parameter yang menggambarkan rezim negara-negara Arab sejak Perang Dunia Kedua hingga saat ini. Lalu apa yang membuatnya sekarang jatuh?
Tidak diragukan bahwa ada beberapa faktor, yang membantu kejatuhannya. Untuk bisa mencapai fakta-fakta yang jelas dan fokus, kami akan mengambil khusus dari Mesir sebagai contoh sample, yang mungkin mengeneralisirnya untuk negara-negara lain. Kejatuhan rezim Husni Mubarak terjadi pada 11 Februari 2011 dikarenakan beberapa faktor antara lain:
Yang pertama: bahwa aksi pemberontakan, konfrontasi, dan protes terus tidak berhenti selama tiga puluh tahun terakhir telah membentuk sebuah bangunan kumulatif yang telah matang dan pada akhirnya menjatuhkan pemerintahan. Pemberontakan dimulai dengan pembunuhan Sadat, yang merupakan buah terjadinya perdamaian dengan Zionis. Setelah itu diikuti konfrontasi dengan al-Jama’ah al-Islamiyah dan Jihad, kemudian oposisi dan protes terhadap beberapa praktek pemerintahan oleh partai-partai tradisional seperti Ikhwanul Muslimin, al-Wafd, gabungan democrat, Liberal, orang-orang Naser, dan kaum kiri.
Kemudian muncul gerakan protes dan solidaritas terhadap represi Israel atas Intifada Al-Aqsho pada tahun 2000, dan keberatan dengan sikap pemerintah yang memalukan tentang hal ini. Gerakan ini diikuti beberapa universitas: Kairo, Alexandria dan Mansoura, kemudian terbentuklah "gerakan dua puluh Maret untuk Perubahan" yang muncul setelah demonstrasi massa menentang invasi ke Irak pada tahun 2003. Kemudian muncul gerakan "Kifayah" pada tahun 2004 di bawah slogan "Tidak untuk perpanjangan .. tidak untuk pewarisan". Tahun 2005 mulai terlihat gerakan hakim menuntut independensi peradilan. Tahun 2007 terlahir gerakan "Dokter Tanpa Hak" dan "guru tanpa perlindungan" dan "insinyur Melawan penjagaan". Meluaslah berbagai gerakan yang mengancam orang terusir dari rumah mereka seperti di qol’ah al-kabsy, Istil ‘Antar, dan daerah Tusun, Qursoyah, dan lain-lain. Demikian juga terus berlangsung protes, aksi mogok, tuntutan hukum, festival seni di Tahun baru.
Tahun 2008 menyaksikan terjadinya "revolusi haus" dan perselisihan antrian roti di Burullus dan Motobas. Ketegangan masalah roti terus berlanjut sepanjang bulan April-Mei-Juni 2008. Di tahun 2008 juga terjadi bentrokan petani di banyak desa yang menolak feodalisme lama mengembalikan land reform. 500 orang petani di Qana juga mengancam mogok untuk menyediakan tebu kecuali pemerintah meninjau ulang keputusan untuk menaikkan harga pupuk. Gelombang protes juga dilakukan oleh nelayan di depan parlemen pada awal tahun 2008 dikarenakan dominasi sumber daya air telah menyebabkan keringnya peluang bagi nelayan dalam perjalanan mereka mencari rezeki.
Banyak partai menolak hasil pemilu tahun 2010, antara lain:al-Wafd, al-Karomah, al-Jabhah al-dimuqrathiyah, al-Ghadd, al-Tajammu’ al-Nashiry, al-Ahrar, dan Ikhwanul Muslimin. Berpartisipasi juga dalam penolakan itu sejumlah gerakan protes yang terbentuk: "Front perubahan," "Kampanye Rakyat untuk Perubahan", "Penulis dan Seniman untuk Perubahan", "Jurnalis untuk Perubahan", "Insinyur untuk Perubahan ", " Pemuda untuk Perubahan, " " Mahasiswa untuk Perubahan, " " Anak-anak untuk Perubahan," "petani untuk perubahan," "Pekerja untuk Perubahan," dan "Grup 9 Maret untuk kemerdekaan universitas " , "Komite Rakyat untuk melindungi aset masyarakat", yang menolak penjualan Bank Kairo dan menolak penjualan aset publik yang merupakan miliki rakyat Mesir, juga menolak kecenderungan menuju privatisasi secara umum, dll.
Kedua: Korupsi yang berkaitan dengan despotisme, dan pengayaan diri Husni Mubarak dan anak-anaknya, pengurus partai yang berkuasa seperti Safwat Al-Sharif Ahmed Ezz, Ahmed Fathi Sorour dan Ahmad Nazef dan lain-lain, melalui penjualan tanah, mengambil komisi transaksi lewat organisasi-pemerintah. Pencurian sistematis terhadap ekonomi Mesir telah melebarkan wilayah kemiskinan, dan menjadikan sebagian besar rakyat Mesir berada di bawah garis kemiskinan, hilangnya kelas menengah, yang merupakan kelas yang paling penting dalam vitalitas masyarakat Mesir.
Ketiga, Menyerah sepenuhnya rezim Husni Mubarak kepada Israel terkait isu Palestina, dan ini tercermin jelas dalam tanggapannya atas permintaan blokade ekonomi terhadap Jalur Gaza, yang mengancam kehidupan satu juta setengah warga Palestina dari hak mereka yang paling dasar berupa obat-obatan, makanan, minuman, dan tempat tinggal
Meskipun seharusnya dalam sistem ini tidak merespon Israel dalam menghalangi tuntutan kebutuhan hidup, dan seharusnya ada jalan keluar bagi permintaan ini yang membela bangsa Arab dan Islam, yang menjadi penghubung antara Mesir dan Palestina, namun tidak cukup sampai disini, rezim Mubarak memberlakukan “mengencangkan cincin” terhadap rakyat Palestina, dan menutup jendela-jendela hidup mereka dengan membangun dinding baja yang menusuk dalam ke perut bumi di dan menjulang ke langit di perbatasan Gaza.
Keempat, Menyerah secara penuh rezim Husni Mubarak terhadap rencana Amerika di Timur Tengah, yang hal itu menegaskan pelaksanaan harfiah perjanjian Camp David berkaitan pengosongan Sinai, dan tetapnya tentara Mesir di sana dengan persiapan yang minim dan senjata yang minim pula.
Itu juga menegaskan rezim Mubarak mendukung AS untuk mengenakan embargo udara dan ekonomi terhadap Irak setelah Perang Teluk pada tahun 1991, yang menyebabkan kematian satu juta rakyat Irak. Kemudian dukungan Mubarak sehubungan dengan perjanjian Oslo dan pelaksanaan ketentuan-ketentuan. Kemudian dukungannya dalam invasi ke Irak pada tahun 2003, yang menyebabkan pembubaran pasukan Irak dan diakhirinya Front Timur dalam menghadapi Israel, menghancurkan tatanan ilmu pengetahuan, ekonomi, pertanian, dan membongkar kesatuan negaranya menjadi negara sectarian: Kurdi di utara, Sunni di tengah, dan Syi'ah di selatan, dan ketergantungan minyak di tangan politik Amerika.
Kelima, para pengamat hubungan Amerika dengan rezim Husni Mubarak akan menemukan bahwa kebijakannya telah berubah ke arahnya berkenaan dengan hal-hal tertentu, terutama hubungannya dengan rakyat. Perubahan ini sudah mulai sejak era Menlu A.S. Condoleezza Rice yang pernah meminta pembebasan beberapa orang oposisi dari penjara seperti Ayman Nour dan Ibrahim Saad Eddin , dan memintanya untuk memberikan kebebasan lebih kepada rakyat.
Di era Obama perubahan meningkat pesat. Ketika gerakan protes bermula di akhir 2010, Obama meminta Hosni Mubarak untuk membiarkan rakyat mengekspresikan pendapatnya dan tidak menindasnya. Kemudian pada tahap berikutnya meminta Mubarak untuk turun dan untuk "menciptakan kondisi bagi transisi yang mulus dan damai," Tidak diragukan bahwa ini merupakan isyarat-isyarat perubahan dalam kebijakan Amerika terhadap Husni Mubarak. Lebih jelas lagi Amerikalah yang mendorong tentara untuk berdiri netral dan tidak menindas para demonstran, Apa yang menyebabkan kebijakan Amerika terhadap rezim Husni Mubarak berubah? Ada tiga alasan:
A – Penuaan sistem, ketidakberdayaan, kinerjanya yang buruk, dan ketidakmampuan dalam mendorong rakyat Mesir kepada pembaratan, yang merupakan salah satu tujuan utama kebijakan AS pada tahap yang dibutuhkan ini dari para penguasa.
B - Ketakutan Amerika kepada kelompok Islam - yang merupakan organisasi paling kuat – mampu mengambil manfaat dari kerentanan sistem, usia tua, ketidakberdayaan, dan korupsi untuk meningkatkan kebesaran organisasi mereka. Amerika ingin mengganti Mubarak dengan yang lebih dinamis yang dapat menyetir Mesir ke arah pembaratan yang lebih efektif.
C - Tidak adanya Uni Soviet yang mungkin bisa memanfaatkan ketiadaan Amerika dari rezim-rezim ini.
Kesimpulan: Ada celah antara penguasa dan rakyat setelah kemerdekaan. Ini dikarenakan para penguasa amat bergantung pada pengadopsian peradaban Barat sebagai referensi dan model idola mereka dan ini menyebabkan kurangnya popularitas mereka di kalangan rakyat. Celah antara penguasa dan rakyat ini semakin diperdalam dengan adanya sikap tirani, korupsi dan mengalah didepan Amerika dan Israel. Kegagalan rezim-rezim ini dalam kerja pembaratan masyarakat membuat Amerika akhirnya meninggalkan mereka.
No comments:
Post a Comment