Tur ke tanah Pemberontakan: Yaman dan Libia
Oleh; Mehmet Yaman / Onur Coban, SANAA
Sumber: Today’s Zaman, 20 April 2011,
Kawasan Timur Tengah bergolak dan menggelegak, satu persatu kepemimpinan di berbagai negara di kawasan ini runtuh.
Melihat apa yang sedang berlangsung di TV, tampak bahwa bangsa-bangsa ini sedang dilanda perang, tetapi benarkah demikian apa yang sedang terjadi? Di Yaman, perjuangan sedang berlangsung di alun-alun kota. Tetapi ketika meninggalkan alun-alun itu, anda bisa melihat bahwa kehidupan sehari-hari terus berjalan seperti biasa di sini. Namun di Libya, situasinya sedikit berbeda. Ke mana pun memandang anda akan melihat rasa panik dan kemarahan yang terkait dengan perang.
Hari-hari ini, Yaman jelas di bawah pengaruh kekacauan politik yang tersebar luas di seluruh dunia Arab. Alun-alun kota terbagi-bagi di Yaman, Ada pendukung partai berkuasa di Tahrir Square dan demonstran oposisi yang berkumpul di lapangan umum di Universitas Sanaa. Sementara itu, aktivitas kalutyang ada di alun-alun itu secara lambat beralih ke jalan-jalan.
Toko-toko merendahkan penutupnya. Negeri ini, yang telah bergumul dengan kemiskinan dan korupsi setiap hari, tampaknya tidak memiliki masa depan yang cerah pada titik ini. Namun demikian, pergilah sedikit menjauh jauh dari aktivitas alun-alun tadi, anda akan melihat kehidupan yang terus berjalan normal.
Saat kami berjalan menyusuri jalan-jalan besar di Yaman, kami sering teringat sebuah lagu lama Turki yang terkenal, "Yaman Türküsü," yang berbunyi: "Mereka yang pergi, tidak pernah kembali. Kenapa begitu?” Dan kami tersenyum pada diri sendiri, berpikir bahwa di Yaman mungkin itu karena lalu lintas. Lalu lintas di sini benar-benar merupakan masalah besar. Tidak cukup satu orang yang membunyikan klakson mobil di sini. Tidak membunyikan klakson berarti mengizinkan orang lain untuk menyalip anda atau memotong jalan di depan anda. danakibatnya, tingkat kebisingan benar-benar luar biasa. Tapaknya juga tidak ada satu mobilpun yang belum pernah mengalami suatu kecelakaan. Di ibukota, Sanaa, banyak orang menggunakan "depdeps" untuk berkeliling. Depdep adalah semacam dolmuş, atau taksi bersama. The depdeps Sanaa menggantikan setiap metro, trem, atau layanan bus kota, dan pintunya selalu dalam keadaan terbuka.
Orang Yaman sangat hangat. Negara ini tentu cukup layak dikunjungi untuk melihat bagaimana cara mereka merangkul orang Turki. Bahkan, ada cukup banyak titik-titik kontrol dan checkpoint polisi yang melambaikan tangan saat mengetahui bahwa kami dari Turki. Ketika kami bertanya kepada orang Yaman apa yang mereka paling sukai dari Turki, beberapa jawaban yang paling sering kami dengar adalah, "Recep Tayyip Erdogan," "Galatasaray" dan "Lembah Serigala."
'Lembah Serigala'
Kami terus menerus melihat ada poster dan iklan yang menampilkan aktor Turki di jalan-jalan Yaman. Dan sebenarnya, sungguh sangat aneh untuk melihat "Memati" (karakter sentral dari serial "Lembah Serigala") muncul sedang mengunyah Khat tradisional - sebuah tanaman yang daunnya dikunyah sebagai stimulan - yang begitu banyak laki-laki Yaman menggunakannya. Ada ketertarikan yang demikian besar dan luas terhadap serial "Lembah Serigala" di sini. Pengaruh dari serial ini dapat diamati di banyak lini kehidupan. Seorang warga Yaman yang kami ajak bicara mengatakan, "Setelah serial ini mulai diputar di sini, jumlah mobil berjendela gelap semakin meningkat." Foto bintang-bintang serial "Lembah Serigala" telah diubah untuk membuatnya tampak seperti memakai pakaian tradisional Yaman, dan bahkan pipi mereka telah diubah untuk membuatnya tampak seolah-olah mereka mengunyah Khat.
Mengunyah Khat tersebar begitu luas di Yaman, cukup aman untuk mengatakan bahwa 80 persen laki-laki negeri ini menggunakannya. Sedangkan perempuan, persentase penggunanya sekitar 35 persen. Pada jam1:00 siang di Yaman segala sesuatunya terhenti. Orang pergi istirahat dan mengunyah (atau lebih tepatnya, mem-pipi) yang diisi dengan daun Khat, dimana penggunanya kemudian mengunyah. Hal ini berlangsung sampai sekitar jam 04:00 Dari gaji bulanan rata-rata $ 100 - $ 120, banyak orang menghabiskan sampai sekitar $ 2 per hari untuk Khat. Walaupun kebiasaan ini secara luas dipandang sebagai penghalang terbesar bagi pembangunan di Yaman, belum ada yang bisa melarang hal ini.
Dulu ada pepatah dalam bahasa Turki bahwa "kopi berasal dari Yaman," namun hal ini tidak lagi terjadi. Itu sebagian besar dikarenakan pohon kopi semuanya telah dicabut agar ada tempat untuk menanam pohon Khat. Sekitar 80 persen pohon yang ada di Yaman adalah pohon Khat. Bagi pria Yaman, membawa belati berbentuk bulan sabit adalah lambang prestise.Sebenarnya, keris ini adalah sesuatu yang semua laki-laki mulai membawanya ketika mereka mulai tua.
Masakan Yaman cukup kaya. Beberapa hidangan yang paling penting di sini adalah fahsa (sup Yaman yang menonjolkan domba dan sayuran) dan banyak hidangan ikan. Bila Anda tidak makan di hotel, makanan umumnya disajikan dengan duduk di lantai. Jika Anda meminta pisau dan garpu, anda akan mendapatkannya, tetapi hanya sebagai layanan tambahan. Teh di sini disajikan sangat manis, rasanya seperti the yang dituangkan gula banyak sekali, dan dibumbui dengan mint atau cengkeh. Pria Yaman makan di luar rumah. Sebenarnya disini tidak ada budaya makan di rumah, kecuali malam Jumat, ketika seluruh keluarga datang bersama-sama. Dan pada catatan akhir, Anda bisa menemukan restoran Turki hampir dimana pun anda pergi di dunia, dan Yaman tidak terkecuali. Ahmet Fedaioğulları tiba di Yaman tahun lalu dan membuka toko kebab di sini, yang masih terus buka.
Kota di balik perang di Libya: Benghazi
Seorang pria tua menyeruput teh dalam kekhawatiran ketika kebisingan pengunjuk rasa di kota Maydan al-Shajara (Alun-alun Pohon) meningkat, tangan seorang anak kecil mengeluarkan bendera kebebasan kepada demonstran oposisi di tengah alun-alun, wanita menangisi untuk segalanya dan semua orang yang telah tiada dalam perang ini dan para pemuda dengan kemarahan di mata mereka mengankat suara mereka naik membubung ke langit ...
Ini semua adalah adegan dari kehidupan sehari-hari di kota Libya Benghazi, dan ini terus berulang-ulang setiap hari. Perang telah menjadi trauma harian bagi masyarakat kota yang indah ini. Wajah-wajah di sini mencerminkan rasa takut dan marah sementara mata cemas menunggu berita kemenangan dari depan. Orang-orang duduk di kafe-kafe dan menyeruput teh saat mereka menonton berita dan berbagi ketakutan dengan teman-teman. Tentu saja, tempat paling ramai di kota ini sejauh ini adalah tempat berkumpulnya pengunjuk rasa, dan jantung gerakan oposisi adalah Maydan al-Shajara. Sejak pagi-pagi sekali hingga siang hari mulai memudar, semua orang di kota, tanpa memandang jenis kelamin atau usia, tampaknya mampir ke alun-alun ini. Ini adalah tempat di mana mereka memperoleh berita terbaru tentang konflik yang sedang berlangsung, dan kemudian mereka melanjutkan urusan masing-masing, melanjutkan kehidupan sehari-hari.
Benghazi, dengan pelabuhannya yang besar, merupakan salah satu pusat paling penting perekonomian Libya. Ini adalah kota dengan garis pantai yang indah dan budaya pengankutan laut yang mengakar. Sekarang, dengan situasi perang seperti sekarang ini, pelabuhannya benar-benar kosong selain kapal yang datang untuk memberikan bantuan. Bisnis dan perdagangan telah berhenti di sini, dan balai kota dan birokrasiya dijalankan oleh komite yang ditunjuk oleh pemerintah sementara. Semua ini mengarahkan ke beberapa fenomena yang aneh, misalnya, ada seorang anak berusia 10 tahun mengatur lalu lintas di salah satu bundaran yang paling penting di kota. Sejak Benghazi telah memotong semua hubungan dengan ibukota Libya Tripoli, ia hanya memiliki beberapa komite dan masyarakat Benghazi mengurus diri mereka sendiri dan bisnis mereka.
Karena ladang-ladang bensin Libya yang bernilai berada di tangan oposisi, tidak ada banyak masalah untuk mendapatkan bensin di Libya timur ini. Bahkan, Anda dapat memperoleh sekitar 60 liter bahan bakar dengan membayar sekitar $ 2,50 (kira-kira Rp. 25.000) di Benghazi. Kilang bensin ini, yang masih bekerja, memproduksi bahan bakar yang cukup untuk menjaga kota ini terus hidup. Namun, bila anda mengarah untuk mencapai bagian dalam Libya dan mendekat garis depan perang, akan ada masalah serius untuk mendapatkan bahan bakar, tercermin dari pom-pom bensi yang dipenuhi antrian mengular panjang di sekitarnya.
Hampir semua toko di Benghazi tutup hari-hari ini. Terutama yang menjual produk teknologi tinggi dan peralatan rumah. Kebanyakan orang di sini takut hingga banyak yang keluar dari kota penjara ini. Para pedagang mengatakan mereka tidak akan membuka usaha mereka sampai semuanya tenang dan normal kembali, dikarenakan takut penjarahan. Namun demikian, banyak tempat makan di kota ini, meskipun kebanyakan hanya menarik wartawan dan anggota oposisi yang kaya. Harganya sangat mahal restoran-restoran, sekali makanan rata-rata sekitar $ 20 per orang.
Ketika hari mulai gelap, orang tidak berani keluar rumah di Benghazi. Namun, selama siang hari, banyak orang berkumpul untuk bertemu di kafe dan tempat nargile. Tidak ada sistem perpajakan di Benghazi, sehingga Anda dapat menemukan apa pun yang Anda inginkan di pasar gelap. Dan selain Maydan al-Shajara, tidak ada lagi tempat berkumpul orang-orang muda di kota. Mereka sebagian besar datang bersama-sama untuk protes setelah shalat Jumat di alun-alun.
As for the city of Tobruk, just to the east, it fulfills all of Benghazi’s needs. The people of Benghazi are happy that some countries, such as Italy, are able to get permission from the National Transitional Council to purchase petrol and this in turn provides materials such as food and medicine for Benghazi. Egypt is keeping its borders with Libya open despite the war and this fact is preventing famine and food shortages in Benghazi and eastern Libya in general.
Adapun kota Tobruk, ke arah timur, mensuplai semua kebutuhan Benghazi'. Orang-orang Benghazi senang dimana beberapa negara, seperti Italia, mendapatkan izin dari Dewan Transisi Nasional untuk membeli bensin dan ini sebagai imbalannya bisa memberikan materi seperti makanan dan obat-obatan untuk Benghazi. Mesir membiarkan perbatasan dengan Libya terbuka meskipun dalam kondisi perang dan fakta inilah yang mencegah terjadinya kelaparan dan kekurangan pangan di Benghazi dan timur Libia pada umumnya.
Bagaimana Menemukan Solusi Masalah Kirkuk?
Oleh: Harun Akyol*
Sumber: Today’s Zaman, 20 April 2011
Ruang kerja itu sunyi saat rekan-rekan semua saling memandang, tidak yakin apakah saya sedang bercanda. Akhir percakapan yang biasa tentang mengisi liburan kemana pada musim panas ketika saya sebutkan rencana berlibur saya akan ke Irak.
Lebih buruk lagi, ketika saya akan berangkat ke Kirkuk, daerah konflik etnis mematikan yang kaya minyak, berseliweran kata-kata canda tentang asuransi kematian dan berkah perjalanan yang saya dapatkan.Meskipun banyak teman dan rekan kerja yang memperingatkan, saya tetap bersemangat dan tertarik untuk melakukan penelitian lapangan saya.
Tujuan utama saya adalah untuk menilai dampak dari etnis Kurdi, Turkmen dan wacana politik Arab terhadap politik di Kirkuk Tujuan pelengkapnya adalah untuk membuat beberapa pengamatan sosial dan politik tentang orang-orang Kirkuk. Wawancara awal dengan wakil dari masing-masing kelompok etnis utama ini membangun beberapa poin umum dalam konstruksi wacana mereka. Masing-masing kelompok mmemiliki cerita masing-masing terkait eksistensi mereka di Kirkuk, jumlah kelompok etnis mereka saat ini dan akar mereka di kota itu.
Setiap kelompok mendukung klaim mereka dengan bukti sejarah, bukti resmi dan anekdot. Bagi etnis Kurdi, Kirkuk secara historis dan geografis adalah pusat Kurdistan, Sebagai akibatnya, mereka tidak siap untuk bernegosiasi dalam kondisi bagaimanapun. Mereka percaya bahwa solusi politik di seluruh Pasal 140 dari konstitusi Irak, yang memaksakan normalisasi, sensus dan referendum di Kirkuk, adalah bagaimana menentukan nasib politiknya. Bagi etnis Turkmen dan Arab, Kirkuk dulu dan sekarang bukanlah, dan tidak seharusnya menjadi bagian dari Kurdistan, Mereka melihatnya Kirkuk sebagai kota beretnis campuran. Bagi kelompok ini, Pasal 140 sudah mati dan tidak berlaku lagi. Kedua kelompok dengan senang hati mengakui bahwa orang Kurdi adalah korban kebijakan pertama tangan besi Saddam. Perbedaannya adalah bahwa kelompok-kelompok lainnya mengklaim bahwa etnis Kurdi menggunakan dan menyalahgunakan posisinya sebagai korban dengan memasukkan orang-orang Kurdi ke Kirkuk lebih banyak lagi dari yang Saddam pernah usir dari Kirkuk. Seorang tua etnis Arab berkata, "Kemarin mereka adalah korban [mazlum], tapi hari ini mereka adalah penindas [zalim] di Kirkuk." Kedua kelompok takut jika orang Kurdi berhasil menganeksasi Kirkuk kedalam Kurdistan, mereka kemudian akan mendeklarasikan kemerdekaan mereka.
Wacana Yang Tak Dapat Didamaikan
Kirkuk tampaknya tidak punya masa depan dihadapan jalan buntu wacana yang tidak bisa didamaikan ini. Jelas, langkah pertama menuju solusi sebuah politik haruslah terbangun keyakinan dan kepercayaan diantara para stakeholder utama. Solusi-solusi ini, saya harus menekankan, perlu memastikan perdamaian jangka panjang yang berkelanjutan dibandingkan hanya sekedar sebuah kesepakatan damai yang terkait perolehan politik jangka pendek. Tidak perlu menjadi seorang analis politik untuk memprediksi, apabila dibiarkan, ketegangan politik ini akan mengarah pada konflik sipil yang lebih jauh. Tantangannya adalah bagaimana meyakinkan setiap kelompok untuk saling percaya satu sama lain dan memberikan mereka harapan untuk hidup berdampingan secara damai.
Sementara pengungsi (IDPs) Kurdi secara intensif menetap di sekitar pinggiran kota Kirkuk yang baru muncul seperti Rahemawa, Shorju, Iskaan dan Imam Qasim, tidak ada interaksi sosial antara para pendatang baru dan warga lama. Mereka tidak hanya secara fisik terpiasah tetapi juga secara sosial dan budaya. Keduanya tampak seperti dua kota yang sangat berbeda dibandingkan hanya satu kota. Tanpa integrasi penuh dan interaksi sipil antara kelompok-kelompok ini tidak akan ada perdamaian jangka panjang yang berkelanjutan di Kirkuk.
Saya percaya bahwa solusi jangka panjang yang berkelanjutan harus dilakukan melalui penyediaan tempat di mana semua kelompok yang beragam dapat bertemu dan berinteraksi satu sama lain dengan menghargai perbedaan mereka. Selama penelitian lapangan saya menemukan bahwa sekolahswasta Çağ College Kirkuk swasta memiliki sebuah potensi. Sekolah-sekolah yang diinspirasikan oleh Fethullah Gulen- ini memperjuangkan dialog dan koeksistensi, yang membangkitkan harapan untuk masa depan yang menjanjikan - bukan harapan palsu, namun langkah yang sangat nyata dan positif terhadap integrasi dan pemahaman. Anak-anak para pemimpin politik terkemuka Kirkuk belajar di sekolah-sekolah Çağ college untuk melanjutkan pendidikan mereka. Ironisnya, sementara ayah mereka berdebat sengit dan bertengkar politis satu sama lain, anak-anak mereka bermain dan menikmati perkawanan satu sama lain yang guru-gurunya dari etnis Turki, Kurdi dan Arab.
Meskipun sekolah swasta Çağ college baru saja dibuka tahun 2007, DIkarenakan sumber daya modern, kurikulum yang berfikiran maju dan kualitas pengajaran, popularitas sekolah-sekolah ini berkembang dengan pesat. Semua bahasa (Arab, Inggris, Kurdi dan Turki) masuk dalam kurikulum. Dalam rangka untuk mempersiapkan siswa mereka untuk tingkat dunia, sekolah Cag College merupakan satu-satunya sekolah college di Kirkuk yang menyelenggarakan ujian Departemen Pendidikan dalam bahasa Inggris. Hanya Prestasi Akademik yang menjadi syarat untuk masuk, tidak seperti beberapa sekolah college lainnya, yang menerima siswa berdasarkan latar belakang etnis.
Sekolah Cag College memang inklusif, sebuah tempat di mana semua kelompok etnis dapat belajar memahami satu sama lain. Potensi sekolah-sekolah ini yang harus bermain dalam membentuk generasi pemimpin Kirkuki berikutnya belum diakui secara penuh. Saya percaya bahwa bukan hanya pendidikan kelompok-kelompok yang beragam ini, tetapi pengalaman pembelajaran terpadu yang sungguh-sungguh memberikan kesempatan unik untuk menciptakan perdamaian yang berkelanjutan.
* Harun Akyol adalah dosen di departemen sosiologi di West Suffolk College, Bury St Edmunds.
No comments:
Post a Comment